Melalui komunitas JHF yang dibentuknya tahun 2003, Marjuki berupaya mengangkat eksistensi musik hip hop Jawa. Bahkan, tahun 2009 lalu ia sempat singgah ke Singapura, untuk memperkenalkan musik yang juga banyak menyoroti persoalan politik dan sosial negeri ini. Sampai saat ini pendukung tetap dalam JHF adalah Kill The DJ (Mohamad Marjuki), Jahanam (Heri Wiyoso a.k.a M2MX dan Balance Perdana Putra a.k.a Ngila) dan Rotra (Janu Prihaminanto a.k.a ki Ageng Gantas dan Lukman Hakim a.k.a Raja Pati).
Jogja Hip Hop Foundation sendiri merupakan wadah bagi komunitas yang mencintai musik rap atau hip hop. Menurut Juki, “Nama Jogja Hip Hop Foundation ini kesannya bagus sekali (foundation = yayasan), tapi aslinya itu adalah komunitas seperti ruang tanpa tembok yang siapa saja bisa masuk dan keluar. Ini bukan sebuah institusi resmi. Saya rasa kalau banyak yang keluar karena itu kan juga pilihan yang sulit di antara pilihan-pilihan musik industri pop di Indonesia. Tapi, aku yakin jika dedikasi dan pilihan itu diberikan pasti bisa ketemu jalannya, dan sampai sekarang kita menemukan jalannya untuk tetap eksis dan memproduksi album, bisa jalan-jalan ke luar negeri juga,” imbuhnya. Pelajaran Juki untuk lebih mengenal budayanya sendiri (budaya Jawa, red) didapatnya melalui musik hip hop berbahasa Jawa. Untuk memperdalam khasanah, budaya serta bahasa tutur Jawa, Juki berupaya mencari kitab-kitab berbahasa Jawa atau serat Centhini. Menurut Juki, semua tembang dalam serat Centhini, baik yang religi maupun yang erotik itu mengandung unsur rap.
Perjalanan 7 tahun Komunitas Jogja Hip Hop Foundation berkiprah dalam musik hip hop Jawa, secara keseluruhan kemudian dikemas menjadi sebuah film dokumenter berjudul Hip Hop Diningrat. Menurut Chandra Hutagaol, co sutradara film, “Ini dibuat dengan merangkai lebih dari 300 kaset hasil dokumentasi grup ini semenjak tahun 2003 sampai 2009 lalu. Untuk merangkai 300-an kaset video itu, kami perlu bikin shooting interview, tujuannya untuk merangkai serakan-serakan dokumentasi yang ada. Prosesnya sendiri memakan waktu satu setengah tahun, sampai kita hampir putus asa,” paparnya lagi. Di akhir segmen JHF menampilkan lagu terakhir mereka yang populer karena liriknya tentang isu keistimewaan Yogyakarta, judulnya “Jogja Istimewa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan mengGunakan bahasa yang santun.