Kamis, 15 Desember 2011

Kisah Tragis Sipadan dan Ligitan Yang Dicaplok Malaysia

 Perseteruan dua bersaudara serumpun, Indonesia dan Malaysia selalu saja tidak pernah berhenti. Salah satu masalah yang paling sering diperseterukan adalah wilayah perbatasan negara. Kisah hilangnya Sipadan dan Ligitan dicaplok Malaysia adalah kisah paling tragis perseteruan klasik itu.

Sebetulnya, kasus Sipadan-Ligitan, posisi kita juga kuat. Tapi,
karena Indonesia taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah
status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah
dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana.
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU 118.6287556°BT / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT / 4.15; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Sipadan dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita,  gara-gara  di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas  Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan.  Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari  jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi  pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim  protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu.  Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa
pemiliknya. Nah, soal ini pula, antara lain, yang gaungnya sampai ke DPR pekan
lalu. Soal ini bukan hanya memancing ketidaksenangan beberapa wakil rakyat, tapi
juga Menhankam L.B. Moerdani. Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi I, Moerdani mengkritik Malaysia yang cenderung tidak mengindahkan
kesepakatan status quo atas kedua pulau itu, bahkan ceroboh membiarkan daerah
tersebut dijadikan obyek pariwisata. Namun, kasus dua pulau itu bukan
satu-satunya soal yang akhir-akhir ini mengganggu hubungan dua negeri sesama
rumpun Melayu itu.
Perundingan penetapan landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik
kedua pulau tersebut. Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari
Pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya
masuk wilayah Indonesia. Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai
Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah Sabah.
Karena gagal dicapai kesepakatan, akhirnya, disepakati pulau itu bersifat status
quo. Artinya, tidak ada kegiatan apa pun di sana sebelum ada penyelesaian.
Namun, Desember 1979, Malaysia mengklaim dua pulau itu sebagai miliknya berdasar
peta baru. Walau Indonesia sudah mengirim nota protes, negara tetangga itu
menegaskan de facto dan de jure, kedua pulau itu miliknya, meski ada juga
kesediaan mereka untuk berunding. Belum lagi perundingan dibuka, Indonesia sudah
membuat nota peringatan kembali tahun 1988 karena adanya kegiatan di Sipadan.
Persengketaan Klasik
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quoakan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketakepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan “Final and Binding,” pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia
Kalah Di Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan mengGunakan bahasa yang santun.